Keranjang Buah

Dalam dunia yang kadang terasa seperti keranjang buah, kita sering menemui ketidakadilan yang tertanam dalam setiap lapisan kehidupan. Bayangkan keranjang itu, penuh dengan berbagai buah yang warna dan ukurannya berbeda-beda. Di sana ada apel yang mengkilap, menarik mata siapa pun yang melihat, serta mangga yang kuning segar memikat. Tapi, di antara buah-buah yang indah itu, tersembunyi buah markisa yang keriput dan mungkin terlihat biasa saja, atau buah sawo yang kulitnya kecoklatan. Siapa yang akan melirik buah-buah ini, padahal mereka mungkin jauh lebih kaya nutrisi, lebih manis, atau menyimpan rasa yang unik? 

Kita sebagai manusia, sering kali juga menjadi "buah" yang tersembunyi di keranjang itu. Karena penampilan atau karakter yang berbeda dari ekspektasi, kita sering kali diabaikan, dinilai kurang, bahkan disisihkan. Rasanya tidak adil, bukan? Mengapa orang hanya melihat "kulit" luar tanpa memperhatikan apa yang ada di dalamnya? Mengapa hanya mereka yang tampil "sempurna" yang dihargai, sementara yang punya nilai berbeda malah tidak dilirik?

Dalam perjalanan ini, ada masa-masa di mana kita bertanya, "Apakah hidup ini memang menuntut kita untuk tidak berlaku adil? Apakah kita harus menyerah pada sistem yang terasa berat sebelah?" Tapi, hidup bukanlah sesuatu yang bisa kita kontrol sepenuhnya. Ada aturan, ada harapan, dan ada persepsi orang lain yang tidak bisa kita ubah begitu saja. Namun, bukan berarti kita harus menyerah pada keadaan yang tidak adil.

Seperti buah yang akhirnya dilihat oleh seseorang yang benar-benar menghargai keunikan dan kualitasnya, mungkin hidup ini menuntut kita untuk sabar menunggu. Tidak perlu memaksakan diri menjadi sesuatu yang bukan diri kita, hanya untuk diterima. Kadang, keadilan tidak muncul dalam wujud besar atau datang dengan segera; ia bisa muncul dalam momen-momen kecil—saat kita bertemu seseorang yang benar-benar menghargai kita apa adanya, atau saat kita memberi dampak positif pada kehidupan orang lain, meski mungkin kita sendiri masih terpinggirkan.

Mungkin di sinilah tantangannya. belajar untuk menemukan keadilan dalam diri kita sendiri, menjadi adil bagi diri kita dan orang-orang yang kita pedulikan. Saat kita mampu berdamai dengan diri, tidak lagi merasa perlu mengikuti ekspektasi luar, barulah kita benar-benar menemukan "keadilan kecil" itu. Kita menjadi buah yang tetap berdiri teguh dengan keunikannya sendiri, tidak peduli apakah ada yang melihat atau tidak.

Sampai pada akhirnya, ada seseorang atau sebuah kesempatan yang muncul, menghargai nilai kita bukan karena penampilan atau karena kita "harus sesuai," tetapi karena mereka melihat nilai yang selama ini tersembunyi. Inilah momen ketika "buah" itu akhirnya dinikmati dan dihargai, bukan karena tampilannya, tetapi karena apa yang ia simpan dalam dirinya selama ini.

Komentar

Postingan Populer