Dua Hati yang Sama-Sama Manusia
"Ruang untuk tumbuh dan belajar."
Kalimat ini terdengar sederhana, tapi nyatanya tak selalu mudah diterima, apalagi oleh hati yang sedang terluka. Kalimat ini sering dianggap tameng, seolah-olah proses kami untuk memahami hidup membenarkan semua rasa sakit yang muncul dalam perjalanan.
Padahal, kami laki-laki pun tak luput dari salah. Kami juga manusia. Dan manusia, pada akhirnya, hanyalah makhluk yang sedang terus belajar.
Kami tidak menyangkal bahwa dalam hubungan, kami bisa keliru. Bisa salah langkah, salah ucap, salah sikap. Tapi percayalah, tidak semua kesalahan lahir dari niat buruk. Kadang, kesalahan itu muncul karena kebingungan, karena belum tahu caranya mencintai dengan benar.
Keliru bukan berarti tidak peduli. Dan bertumbuh bukan berarti mengabaikan luka yang ada. Justru karena sadar bahwa kami masih belajar, kami mencoba untuk tidak membenarkan diri. Tapi jujur saja kami juga tidak ingin semua kesalahan dilemparkan seutuhnya ke pundak kami.
Karena cinta dan juga luka jarang lahir sendirian.
Setiap cinta membawa risiko rasa sakit, dan setiap luka sering bermula dari rasa cinta. Sebab yang kita cintai, yang kita percayai, yang paling bisa menyentuh sisi terdalam dan menyakiti paling dalam pula.
Tapi bukankah itu harga dari mencintai sepenuhnya?
Memberi hati tanpa syarat, meski tahu bisa patah kapan saja.
Namun, sebenarnya cinta tidak seharusnya dianalogikan dengan berjudi. Berjudi berarti menyerahkan segalanya pada keberuntungan dan ketidakpastian, tanpa kontrol atas hasil akhirnya. Sedangkan cinta adalah sebuah pilihan sadar dan komitmen yang melibatkan rasa tanggung jawab, pengertian, dan kesediaan untuk terus belajar dan berusaha bersama.
Cinta bukan tentang menunggu untung atau rugi, melainkan tentang keberanian untuk membuka hati dengan penuh kesadaran, serta kesiapan untuk menerima dan tumbuh, baik di saat suka maupun duka. Jadi, meskipun risiko sakit itu nyata, cinta sejati bukanlah taruhan yang bergantung pada nasib, melainkan perjalanan yang kita pilih untuk jalani dengan penuh harapan dan keikhlasan.
Dalam menjalin hubungan, kami banyak belajar. Tentang bagaimana perempuan mencintai dengan diam, dengan sabar, dengan pengharapan yang kadang tidak pernah disampaikan dengan kata-kata. Kami belajar bahwa apa yang terlihat tenang di luar, seringkali menyimpan badai di dalam hati mereka. Dan kami juga pelan-pelan mulai paham bahwa perempuan tidak selalu ingin solusi, kadang mereka hanya ingin didengar. Diyakinkan bahwa mereka tidak sendirian.
Sementara kami, laki-laki, tumbuh dengan narasi yang berbeda. Diajarkan untuk kuat, rasional, dan tidak terlalu sering menunjukkan keraguan. Akibatnya, ketika merasa bingung atau tak siap, kami memilih diam. Bukan karena tak peduli, tapi karena takut salah lagi. Takut kata-kata kami justru menambah luka. Takut bahwa kehadiran kami malah menjadi beban.
Ketika konflik muncul, bukan berarti kami tidak mencintai. Kadang, kami hanya tak tahu harus memulai dari mana. Dan sayangnya, diam kami sering dianggap sebagai dingin, padahal diam itu bisa jadi bentuk kasih yang canggung. Bentuk cinta yang belum menemukan cara menyampaikannya.
Kami tidak ingin menyalahkan siapa pun. Tidak kepada perempuan yang merasa hancur, tidak juga pada diri kami yang masih mencoba memahami.
Tapi kami ingin dunia sedikit lebih adil.
Sedikit lebih pelan dalam menghakimi.
Bahwa proses bertumbuh itu adalah milik bersama.
Bukan hanya milikku. Bukan juga hanya miliknya.
Bahwa luka dalam hubungan jarang berasal dari satu tangan saja.
Seringkali, itu adalah akibat dari dua hati yang saling mencoba, tapi belum berhasil memahami satu sama lain.
Jika kami pernah melukai, sungguh, bukan karena kami ingin membuatmu hancur. Kami tidak akan membela diri. Tapi kami juga berharap, jangan langsung menganggap bahwa semua yang kami lakukan adalah bentuk pelarian dari tanggung jawab. Karena sering kali, rasa bersalah itu menetap lebih lama dari hubungan itu sendiri. Ia tinggal di dada, diam-diam, tanpa sempat kami bagi ke siapa pun.
Kami tidak ingin tumbuh dengan menginjak luka orang lain. Kami tidak ingin menjadi orang yang membuatmu merasa tak layak. Tapi kami juga berharap, diberi kesempatan untuk belajar, untuk membenahi diri, tanpa harus selalu disalahkan.
Bertumbuh, seharusnya bukan soal siapa yang menang dan siapa yang kalah. Tapi tentang bagaimana kita saling menjaga bahkan saat kita harus menjaga dari kejauhan. Bahkan saat pada akhirnya kita tidak lagi bisa berjalan berdampingan.
Dan semoga lain kali, jika kami atau siapa pun berkata, “aku butuh ruang untuk belajar,” itu bukan berarti kami tidak menghargai perasaanmu. Tapi karena kami benar-benar ingin jadi lebih baik. Bukan hanya untuk diri sendiri, tapi agar suatu saat kami tidak menyakiti lagi.
Komentar
Posting Komentar