Bayangan Sempurna yang Tak Pernah Nyata
Sejak
awal kehidupan, tanpa kita sadari, kita telah diarahkan untuk menjadi sosok
yang sempurna. Sejak kita bisa berjalan dan berbicara, dunia sudah sibuk
membisikkan bentuk “ideal” yang harus kita capai.
Mulai
dari lingkup keluarga yang mendambakan anak penurut dan membanggakan, lingkungan
sekolah yang hanya mengukur keberhasilan lewat angka dan prestasi, hingga
masyarakat luas yang menilai seseorang dari penampilan luar, jabatan,
popularitas dan status sosial.
Semua
memberi isyarat, baik secara langsung maupun diam-diam tentang bagaimana
seharusnya kita tampil, bersikap dan berperilaku.
Kita
diberi standar tentang bagaimana menjadi anak yang baik, teman yang
menyenangkan, murid yang pintar, pasangan yang ideal, bahkan manusia yang
“sempurna” menurut ukuran orang lain.
Tapi...
benarkah ada manusia yang benar-benar bisa menjadi sempurna menurut semua mata
yang memandang?
Bukankah
setiap mata membawa lensa yang berbeda dan setiap hati menyimpan selera yang
tak pernah serupa?
Kita tumbuh dalam budaya pembandingan yang terus-menerus.
Sejak kecil, kita sudah terbiasa dibandingkan:
“Lihat,
anak tetangga rajin belajar.”
“Temanmu
sudah juara lomba.”
“Saudaramu
sudah bekerja, kamu kapan?”
Seolah-olah
nilai kita hanya hidup dalam pantulan orang lain.
Lalu
kita pun terbiasa melihat ke luar, bukan ke dalam.
Melihat
mereka yang lebih tinggi, lebih ramping, lebih cerdas, lebih terkenal, lebih
kaya dan kita pun mulai merasa kurang.
Merasa
tak cukup.
Merasa
harus berubah.
Dan
dari sanalah perlombaan panjang itu dimulai.
Kita
berlari, mengejar bayangan yang tampaknya gemilang, tapi tak pernah bisa
disentuh.
Kita
mulai mengubah diri.
Bukan
demi kebaikan, tapi demi pengakuan.
Kita
berdandan bukan lagi untuk menghargai diri sendiri, melainkan agar dianggap
menarik oleh mereka yang mungkin bahkan tak peduli.
Kita
berkata “iya” padahal hati ingin berkata “tidak”, hanya agar tidak terlihat
membangkang, agar tetap diterima.
Kita
menyembunyikan tangis di balik senyum, menahan luka di balik tawa,
karena
menjadi lemah dianggap memalukan.
Hari
demi hari, kita menyusun citra diri yang sempurna.
Kita
mengedit foto sebelum diunggah,
memilih
kata dengan hati-hati sebelum berbicara,
bahkan
menyusun hidup seperti naskah drama yang harus selalu tampak menarik.
Kita
menjadi sutradara atas kehidupan palsu yang tak pernah benar-benar kita jalani.
Tapi
tak peduli sekeras apapun kita mencoba,
akan
selalu ada suara yang mengkritik:
“Kurang
ini.”
“Terlalu
itu.”
“Seharusnya
kamu begini.”
Karena
kenyataannya, mata manusia tak pernah puas.
Standar
mereka berubah-ubah,
dan
setiap orang memandang dari sudut yang berbeda.
Dan
di satu titik, kita akan merasa lelah.
Lelah
mengejar kesempurnaan yang tak pernah bisa diraih.
Lelah
menjadi seseorang yang bukan diri kita.
Lelah
dengan penilaian-penilaian yang tak ada habisnya.
Dan
yang paling menyakitkan adalah ketika kita mulai kehilangan diri sendiri dalam
proses itu,
kita
lupa siapa diri kita yang sebenarnya,
karena
terlalu sibuk menjadi seperti yang orang lain inginkan.
Padahal,
kebahagiaan sejati tidak datang dari pujian orang lain.
Kebahagiaan
bukan hasil akhir dari validasi sosial.
Kedamaian
tidak datang dari citra yang dipoles,
tetapi
dari penerimaan yang tulus terhadap diri sendiri.
Dari
berdamai dengan ketidaksempurnaan dan mencintai bayangan sendiri yang jatuh di
cermin saat pagi tiba.
Tidak
ada manusia yang benar-benar sempurna,
dan
itu bukan kelemahan, itu adalah kenyataan yang membuat kita unik dan utuh.
Menjadi
sempurna di mata manusia memang tidak akan pernah ada habisnya.
Karena
manusia melihat dengan mata yang penuh keinginan, harapan dan prasangka.
Mereka
menilai dengan pengalaman mereka sendiri,
bukan
dengan pengertian tentang siapa kita sebenarnya.
Tapi
menjadi baik dan jujur pada diri sendiri,
bertumbuh
dengan kesadaran,
belajar
dari kesalahan,
dan
mencintai diri dalam segala ketidaksempurnaan.
Itulah
yang lebih berarti.
Itulah
nilai yang tidak bisa dibeli dan tidak dapat dicabut oleh siapapun.
Hidup
bukan tentang mengoleksi pengakuan,
bukan
pula seberapa sering kita dipuji atau disanjung.
Hidup
adalah tentang menjelajahi diri,
menemukan
makna di setiap langkah kaki kita,
mengenali
luka dan mengubahnya menjadi pelajaran.
Karena
pada akhirnya, tidak penting berapa banyak orang yang menilai kita sempurna.
Yang
lebih penting adalah apakah kita bisa memandang diri sendiri di cermin dan
berkata :
“Aku cukup.
Aku mungkin tidak sempurna, tapi aku terus berusaha menjadi lebih baik dengan
cara yang benar.”
Dan
di situlah letak keindahannya
bukan
dalam kesempurnaan yang semu,
tetapi
dalam keberanian untuk menjadi diri sendiri.
Dalam
kesediaan untuk mencintai diri apa adanya,
dalam
keputusan untuk berhenti mengejar pengakuan yang tak pernah cukup.
Sebab hidup ini terlalu singkat untuk
dijalani sebagai orang lain.
Terlalu
berharga untuk dihabiskan mengejar standar yang tak pernah tetap.
Dan
terlalu indah, jika kita mau melihat
bahwa
diri kita, dalam bentuknya yang asli,
telah
cukup untuk dicintai… tanpa syarat.
Komentar
Posting Komentar